Perjalanan ke China ini merupakan perjalanan yang sudah diimpikan sejak lama, maklum disana ada tembok besar (Great Wall), ada kota terlarang (Forbidden City) ada pabrik-pabrik herbal yang mujarab dan lain-lainnya yang serba unggul. Begitulah antara lain yang terlintas dalam pikiran saat itu.
Kira-kira shubuh waktu setempat pesawat yang saya tumpangi sudah sampai di atas Kota Beijing. Dari atas terlihat jelas Kota Beijing dengan kerlap-kerlip lampunya yang menyala-nyala, agak kurang teratur kotanya, itu setidaknya kesan pertama tentang Kota Beijing dilihat dari jendela pesawat.
Turun dari pesawat di Bandara Beijing masih agak gelap dan suhu udaranya dingin sekali, setelah ikut antrian di imigrasi dan di angkut dengan kereta bandara barulah tiba di halaman bandara. Di sana sudah ditunggu oleh guide yang akan menemani perjalanan selama di China. Dia seorang China asli yang bisa berbahasa Indonesia karena pernah bekerja di Jakarta selama 3 (tiga) Tahun, orangnya tampan dan pintar membuat humor.
Kota Beijing ternyata sangat indah luas dan bersih tidak terlihat tempat yang kumuh semuanya terlihat rapi dan sepertinya kota ini sudah selesai, tidak ada pembangunan, renovasi apalagi galian-galian di pinggir jalan hanya di sebagian gedung-gedung tinggi terlihat banyak jemuran berkibar dari jendela-jendela tempat hunian sama seperti pemandangan yang pernah di lihat di Singapura.
Setelah berkeliling di kota Beijing sempat mampir di rumah makan yang menyajikan menu bebek peking yaitu bebek panggang yang dagingnya di iris tipis-tipis di campur dengan bumbu rempah-rempah kemudian dibungkus dengan semacam omelet “Enak sekali”. Hidangan yang lain berupa masakan macam-macam daging, ikan, sayuran-sayuran, ada juga tahu dihidangkan secara berangsur-angsur sampai makan selesai. Karena hari itu hari Jum’at, tepat waktu sholat jum’at saya sudah berada di Masjid Niujie, menurut guide yang menyertai, Niujie artinya “Jalan Sapi”. Satu-satunya Masjid di Beijing yang tidak di ratakan dengan tanah waktu revolusi kebudayaan China Tahun 1966-1976. Disebut masjid Jalan Sapi karena dahulu tempat itu di jadikan tempat penyembelihan sapi apabila datang Idul Adha.
Jama’ah sholat Jum’at di Masjid itu kebanyakan penduduk lokal tapi ada juga jama’ah lain dari berbagai etnis di seluruh dunia, kelihatannya dari perwakilan Negara-negara Islam yang di tempatkan di Beijing. Maklum masjid itu merupakan salah satu dari sedikit masjid yang di perbolehkan melakukan aktifitas beribadah.
Masjidnya sudah kuno seperti cagar budaya di tengah-tengah bangunan-bangunan modern. Waktu itu tempat wudlu dan toiletnya sedang di renovasi sehingga untuk bersuci agak kesulitan. Ada pengeras-pengeras suara persegi panjang berukuran kecil yang di pasang di dinding-dinding masjid termasuk di luar masjid sehingga kegiatan sholat jum’at bisa di dengar di luar masjid dan ternyata di luar masjid banyak personil keamanan berjaga-jaga lengkap dengan senjata masing-masing. Karena khutbahnya berbahasa China yang di mengerti hanya bahasa Arabnya saja seperti ayat al-Qur’an, Hadist, Iftitah dan Ikhtitamnya.
(BERSAMBUNG)
Penulis : Dr. KH. Amin Manshur, SH., M.Hum.
Editor : Tim Multimedia PPBN